Ketika didekati, wanita sepuh itu sedikit terperanjat. Sontak dia pun bertanya, ”Mau ke air, Mas?” Saya menggeleng dan segera duduk di bangku kecil panjang dekat situ. Saya pun lalu membuka percakapan. Ibu tua berusia 70 tahunan ini tampak letih dan agak kurang sehat. Suaranya terdengar serak. Matanya sayu. Nek Romlah, begitu orang-orang memanggilnya.
Nek Romlah adalah anak tunggal dan saat ini hidup bersama anak perempuan semata wayang serta menantunya. Kehidupan mereka boleh dibilang jauh dari berkecukupan.
”Saya kerja begini buat ngebantuin mantu saya. Lumayanlah dapet 20 ribu sehari. Jamban ini bukan punya saya. Saya di sini nguli,” tuturnya polos. Saya pun bertanya berapa pemasukan rata-rata dari fee orang yang memakai toiletnya. ”Kalau hari biasa bisa dapet 70 ribu, saya diupah 20 ribu. Hari libur karena ramai bisa dapet 130 ribu, saya diupah 30 ribu,” terangnya pelan.
”Penghasilan saya bisa bertambah kalau ada yang ngebagi duit, bisa buat simpenan kalau lagi sakit. Jadi nggak ngrepotin anak saya.” Nek Romlah bercerita, para pengguna toiletnya yang kebanyakan orang yang sedang wisata kerap memberinya uang lebih. Jika untuk buang air kecil tarifnya Rp 2.000, maka orang kadang memberinya Rp 5.000 dan tidak mau menerima kembalian.
Saya membayangkan, dengan tidak pastinya upah harian yang dia terima, pastilah memusingkan sang nenek. Tapi coba dengar apa katanya. ”Tapi yang penting sehat, Mas. Soal rejeki sudah ada yang ngatur. Berapa-berapa, yang penting cukup dan berkah.” Kata-katanya penuh ketabahan.
Dia tersenyum ketika ditanya apa yang menjadi impiannya. ”Nggak ada, pingin sehat aja,” sahutnya. Subhanallah, betapa qanaah-nya. [DD/Akhsin]
Sumber Cerita dan Foto dari eramuslim.com
0 Komentar:
Post a Comment