Feb 13, 2011

R. W. Dodo - Direktur Literary Agency Mata Pena Writer

 Kutipan wawancara RW. Widodo oleh Dr. Dito Anurogo (Netsains.com)


Apa beda antara mimpi dan cita-cita di mata Direktur Literary Agency Mata Pena Writer R. W. Dodo? Berikut wawancara ekslusif Netsains.Com dengan lelaki yang bersahaja ini.

Dito: Boleh tahu, apa sebenarnya mimpi atau cita-cita Anda sejak kecil?
Jawab: sebelum menjawab pertanyaan ini, saya mungkin akan membedakan definisi antara mimpi dan cita-cita. Definisi mimpi mungkin lebih dekat dengan hanya keinginan. Yaitu tahap berharap pada sesuatu. Akan tetapi, belum berpijak pada langkah-langkah sistematis dan konkrit untuk mewujudkan harapan itu. Berjalan mengalir saja jika ada kesempatan. Tidak membuat sebuah kesempatan.

Berpijak pada definisi ini, sejatinya dari kecil saya mempunyai banyak mimpi. Pada suatu saat saya dulu ketika SD sering dilombakan di ajang kompetisi menyanyi antar sekolah sekecamatan, saya waktu itu bermimpi suatu saat nanti ketika saya besar, saya berharap akan menjadi seorang penyanyi. Saya senang sekali ketika bernyanyi, penonton akan menyoraki saya, dan setelah usai menyanyi pasti mereka akan menyanjung kemerduan suara saya.

Pada suatu ketika saya diminta membaca puisi oleh guru Bahasa Indonesia di depan kelas, dan berhasil membuat seisi ruangan terpaku menatap saya. Turut berkaca-kaca ketika puisi yang saya baca puisi sendu, pada saat itu saya bermimpi suatu saat nanti akan menjadi seorang sastrawan.

Lain halnya lagi, ketika saya mendapati kesempatan untuk ikut mewakili sekolahan berkompetisi dengan sekolahan lain sekecamatan dalam merebutkan piala bergilir Cerdas Cermat. Pada saat itu, saya bermimpi suatu saat nanti saya akan menjadi seorang ilmuwan. Sekalipun saya tidak memenangkan piala itu.

Dan masih banyak lagi, kejadian yang turut membangun perubahan mimpi saya. Sampai pada akhirnya, ketika saya besar, kuliah, tersadar. Ternyata mimpi hanyalah mimpi. Bunga tidur. Karena itulah adanya hanya di hayalan. Tidak akan merubah apapun. Kecuali ia dibangun menjadi sebuah cita-cita.

Yang saya pahami, definisi cita-cita mungkin lebih erat lagi dengan sebuah keinginan yang kuat, lalu diusahakan dengan keras, dengan strategi yang sistematis, berjangka panjang, dan rela menanggung semua konskuensi demi tercapainya keinginan itu. Cita-cita lebih realistis, berpijak pada kenyataan.

Jika diukur dengan definisi tersebut, semasa SD mungkin bisa dibilang saya belum mempunyai cita-cita. Begitupun juga ketika sudah menginjak bangku SMP. Sampai pada jenjang SMA kelas 3, itulah awal dari cita-cita saya terbangun. Saya ingin menjadi artis, spesifiknya ‘penyanyi’.

Semenjak saya lulus, saya mengejar keinginan itu. Saya berusaha keras untuk mewujudkannya. Lalu sampai mengantarkan saya ke Jakarta. Kemudian sesampainya saya ke Jakarta, saya menyusun sebuah startegi baru. Saya ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) PSM (Paduan Suara Mahasiswa) untuk memperdalam skill saya bernyanyi. Setelah itu saya juga banyak ikut audisi, sampai pada akhirnya tahun 2005 saya ikut audisi AFI. Saat itu, saya tidak berhasil. Dan semenjak itu, saya mengubah cita-cita.

Saya ingin menjadi seorang penulis! Dan ketika saya sudah banyak menulis buku, saya tidak hanya ingin menjadi penulis. Cita-cita saya terus berevolusi, hingga pada detik ini evolusi itu pun belum menemui titik.

Dito: Boleh tahu, tentang sekelumit riwayat perjalanan hidup Anda?
Jawab: saya bersyukur, mempunyai kehidupan yang cukup unik dan berliku. Saya terlahir dari keluarga yang sangat berprinsip. Kedua orang tua saya berdarah Jawa. Prinsip dari keluarga saya ini terbangun dari kolaborasi budaya Jawa dan agama Islam.

Jadi, dari kecil saya terbangun dengan didikan mental disiplin ala aturan budaya Jawa ningrat. Kalau berbicara kepada orang tua harus dengan bahasa Jawa Kromo Inggil. Kalau siang harus tidur. Sebelum berangkat sekolah harus sarapan dan minum susu. Lalu cium tangan ke dua orang tua sambil berdoa, dan sebagainya.
Budaya keluarga besar orang tua saya, selepas lulus sekolah dasar pasti anaknya akan disekolahkan di perantauan. Begitupun juga saya dan saudara kandung saya (kakak dan adik). Saya, semenjak lulus SD langsung disekolahkan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Saya tinggal di sebuah pesantren salaf dan sekolah di sekolahan umum. Jadi, rutinitas saya tiap sore, malam, hingga pagi, mengaji di pesantren. Sedangkan siangnya, saya sekolah di sekolahan umum di luar.

Semasa SMP saya termasuk salah satu anak pendiam. Selama kelas 1, saya sakit-sakitan. Sehingga saya yang biasanya di SD sering juara, saat kelas 1 saya tidak mendapatkan juara 5 besar. Mulai kelas 2, saya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan. Semenjak saat itu, saya kembali bisa meraih juara 1. Di samping itu, saya juga mempunyai keahlian baru. Saya juara 1 Lomba Qiraah. Entah seperti apa prosesnya, setelah itu tiba-tiba saya diangkat menjadi ketua Qosidah di sekolahan.

Nama saya pun mulai di kenal di sekolahan. Saya sering manggung. Hingga pada akhirnya, saya dilombakan pada tingkat kabupaten, waktu itu saya belum menang. Di pesantren saya kebetulan ada Qosidah juga, saya lalu direkrut menjadi vokal. Tak lama kemudian, saya pun dilombakan di tingkat kecamatan dan berhasil juara 1. Setelah itu, dilanjutkan tingkat kabupaten, dan masih bertahan juara 1, hingga sampai dilombakan tingkat karesidenan Pati, juga berhasil juara 1. Sampai kelompok Qosidah kami diundang oleh Bupati Rembang untuk pentas pada suatu acaranya.

Saya pada waktu itu mulai masuk di SMA. Di saat itu, selayaknya anak muda yang sedang puber, saya mulai gengsi untuk pentas Qosidah. Saya beralih ke musik pop. Saya mulai memilih teman-teman yang tidak lugu. Bahkan, saya kumpul dengan teman-teman nakal. Saya pun, cukup terpengaruh. Saya nakal. Saya sering tawuran dengan teman-teman.

Saya nakal sampai akhir kelas 2 SMA. Di akhir kelas 2, ada kejadian yang cukup dahsyat, yang mengubah hidup saya. Pada suatu ketika saya dengan 7 teman saya, memukuli 3 anak, musuh teman saya. Usai kami pukuli, dia memanggil teman-temannya. Tidak kami duga, ternyata mereka sedang berkumpul. Ada sekitar 20 an orang, teman mereka, semua mengejar kami yang hanya ber-7. Mereka semua membawa batu, kayu, bahkan ada yang bawa celurit. Kami pun lari berpencar, karena tidak memungkinkan untuk melawan.

Saya bersyukur, selamat bersama dua teman saya yang lari searah. Karena berhasil ngumpet di warung makan. Saat di warung kami sebenarnya nyaris tertangkap, untungnya Ibu Penjual menyelamatkan kita, pura-pura tidak tahu. Di samping itu, ke 3 teman saya terpojok dan kepalanya bocor digebukin. Mereka langsung dilarikan ke rumah sakit.

Kejadian itu turut menyadarkan saya. Pikiran saya berkecamuk. Saya tidak habis pikir, jika saja saya tertangkap. Saya terbunuh, setelah itu kabarnya terdengar orang tua saya. Saya yakin mereka akan sangat menyesal, kecewa dan entahlah. Saya tidak bisa membayangkan. Karena sejatinya mereka di rumah tidak ada yang tahu, kalau di samping saya tinggal di pesantren, sebenarnya saya nakal.

Dito: Adakah kejadian/peristiwa atau hikmah khusus yang membuat Anda tersentuh, atau tercerahkan?
(Misal: saat melihat kehidupan pengemis, lalu tergerak untuk membantunya)
Jawab: kejadian yang sangat menyentuh hati saya, ya waktu saya nyaris tertangkap di kejadian tawuran itu. Semenjak saat itu, saya mengalami dilema. Saya sering berpikir, ”saya ingin menjadi orang sukses, berhasil, mempunyai jabatan, kaya, terhormat dan sebagainya. Biar orang tua saya bangga dengan saya. Tapi, saya nakal. Apakah saya bisa menggapai keinginan itu dengan seperti ini?”

Gara-gara pikiran itu, saya pernah suatu ketika nekad datang ke rumah Bupati Rembang. Awalnya saya ditolak satpam. Tidak boleh masuk. Tapi, saya tidak kekurangan akal. Saya pun ikut bareng dengan tamu lain yang baru datang. Saya berhasil masuk dan bertemu Bupati. Setelah tamu lain menyelesaikan urusannya, saya pun kemudian menyampaikan pertanyaan yang sedang berkecamuk kepada Bupati.

”Maaf, Pak. Saya mau tanya. Jujur, saya ini nakal. Tapi, saya ingin menjadi orang sukses seperti Pak Bupati. Punya jabatan, kaya, terhormat, dan bermanfaat untuk orang banyak. Apakah saya bisa menjadi seperti, Bapak? Apakah ada orang yang nakal seperti saya ini, dewasanya bisa sukses seperti Bapak? Apa yang harus saya lakukan, agar saya bisa seperti Bapak?” tanyaku.

Pak Bupati tersenyum. Pada intinya ia senang dengan pertanyaan saya. Pak Bupati kemudian menyarankan saya agar belajar dengan giat. Beliau juga meyakinkan, bahwa saya pasti bisa menjadi seperti dirinya. Mendengar jawaban itu, saya senang, rasanya lega sekali. Dan kejadian konyolpun setelah itu terjadi, karena uang ongkos saya mepet, saya kemudian dengan jujur minta uang saku ke Pak Bupati. Pak Bupati kemudian memberi uang Rp. 50.000,- kepada saya. Saya pun kemudian pamit dan pulang.

Semenjak saat itu, saya semakin yakin pasti akan sukses. Saya semakin gemar membaca. Saya mulai membuat jarak dengan teman-teman yang nakal. Saya kumpul mereka sekedarnya saja.

Dito: Boleh kami tahu sejak kapan Anda menjabat sebagai direktur Literary Agency Mata Pena Writer?
Jawab: Saya menjabat Direktu di Literary Agency Mata Pena Writer sejak tahun 2009.

Dito: Apa saja rahasia sukses Anda?
Jawab: sebenarnya saya tidak punya rahasia untuk meraih kesuksesan. Dan saat ini, semua yang saya dapatkan belum mencapai predikat kesuksesan dalam kehidupan saya. Baru berproses membuka pintu kesuksesan.

Pada dasarnya simple saja pedoman yang saya pegang untuk merealisasikan semua yang saya inginkan. Yaitu berterima kasih kepada orang-orang sukses. Karena mereka telah menunjukkan peta jalan menuju kesuksesan. Selain itu juga berterima kasih kepada semua orang yang gagal. Karena mereka telah menunjukkan bahwa jalan yang dilewatinya tidak perlu diikuti. Biar perjalanan lebih lancar.

Dito: Apa sajakah visi dan misi Anda di dalam memimpin dan memajukan Literary Agency Mata Pena Writer?
Jawab: Visi saya adalah mencerdaskan bangsa dengan wacana. Sedangkan misi saya adalah mengkoordinir SDM yang ada agar senantiasa bisa membuat karya yang berkualitas dan bernilai tinggi untuk pembaca. Membekali mereka dengan kecerdasan pikir dan batin dalam berkarya. Serta menanamkan tanggung jawab besar dalam berkarya.

Dengan demikian, kami harap itu menjadi sumbangsih kami untuk kemajuan dunia perbukuan di Indonesia. Serta menjadi salah satu upaya kami untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia khususnya dan . Amin.

Dito: Bagaimana kiat-kiat Anda di dalam manajemen waktu?
Jawab: Waktu dalam sehari ada 24 jam. Tidak pernah bertambah, tidak pernah pula berkurang. Tidak ada perbedaan antara waktu orang sukses dengan orang gagal. Sama-sama 24 jam dalam sehari. Begitupun juga, tidak ada perbedaan waktu antara si miskin dan si kaya. Mereka sama-sama memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Yang membedakan posisi mereka, adalah bagaimana cara mengisi waktu 24 jam tersebut dalam sehari.

Bagi saya, yang penting 24 jam sehari itu saya gunakan untuk hal bermanfaat. Apapun itu. Begitulah cara saya me-manage waktu.

Dito: Apa saja jurus sukses Anda di dalam seni memimpin?
Jawab: Bagi saya, memimpin adalah menjadi seorang pelayan. Pelayan Tuhan, untuk memperbaiki yang kita pimpin. Untuk itu, agar yang kita pimpin bisa puas dengan kerja kita, dan menjadi sejahtera, kita harus mengenal mereka. Sejatinya pribadi mereka seperti apa, tingkat kesuksesan menurut mereka bagaimana, ukuran kebahagiaan bagi mereka apa, dan apa hal-hal yang kurang baik dari mereka yang perlu diperbaiki, dan sebagainya.

Selanjutnya, setelah mengetahui itu semua. Kita layani mereka dengan baik, selayaknya yang diharapkan oleh Tuan kita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, bukan mutlak hanya sekedar memenuhi apa yang diinginkan yang kita pimpin. Tapi, meluruskan mereka yang kita pimpin agar selaras seperti yang diinginkan oleh Tuhan.
Ini yang kebanyakan pemimpin, salah mengartikan apa itu ‘posisi pemimpin’. Mereka seringkali terjebak hanya menuruti yang mereka pimpin. Atau sebaliknya, yang dipimpin hanya mengikuti pemimpinnya tanpa ditanggapi dengan bijaksana. Apakah itu sudah sesuai dengan harapan Tuhan?
Sekalipun seorang pemimpin, dalam kitab suci sudah jelas, jika mereka salah, kita harus menolaknya!

Dito: Siapa sajakah tokoh idola yang menginspirasi Anda?
Jawab: Tokoh idola saya cukup banyak. Dalam bidang tertentu saya mempunyai idola tersendiri. Seperti halnya dalam bidang kepemimpinan negara, saya mengidolakan Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Amin Rais, SBY. Sekalipun dalam beberapa hal saya ada yang kurang berkenan pada diri mereka, banyak hal yang saya salut dari bagaimana mereka memerankan kepemimpinan.

Dalam bidang pendidikan, saya mengidolakan KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Buya Hamka, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan sebagainya.

Di bidang sastra, saya mengidolakan Gus Mus, Danarto, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, Ahmadun Yosi Herfanda, Helvy Tiana Rosa, Habiburrahman El Syrazi, Andrea Hirata dan sebagainya.
Di bidang aktor, ada Dedi Mizwar, Didi Petet dan sebagainya.

Jadi, saya termasuk tipologi orang yang banyak mengidolakan orang. Karena saya berpikir, tiap mereka turut menginspirasi dalam kehidupan saya. Ya, seperti yang saya utarakan sebelumnya. Bahwa, bagi saya orang sukses adalah orang yang menunjukkan peta jalan menuju kesuksesan.

Dito: Pesan apa saja yang bisa Anda sampaikan untuk pemirsa Netsains.com?
Jawab: Di saat kita merasa paling benar, di situlah awal kesalahan. Begitupun juga saat kita merasa paling pintar, di situlah benih kebodohan bersemayam di otak kita.
Demikian semoga wawancara ini bermanfaat dan menginspirasi kita semua

0 Komentar:

Post a Comment

Sekolah Internet Indonesia
 

Site Info

Blog ini berisi tentang motivasi, pengembangan diri, pernikahan, sosok inspirasi, ekonomi, tips, kesehatan, dan pariwisata. Terinspirasi dari tokoh-tokoh yang memiliki tinta emas dalam perjuangannya mengarungi hidup. Semoga ALLAH SWT memberikan kita petunjuk menjadi yang lebih baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat sehingga hidup kita menjadi berkah.

Iklan

MOTIVASI HIDUP BERKAH Copyright © 2009-2013. Free Template by MasnaTheme.Com.
Designed by Bie Blogger Template